Berdasarkan pertunjukan wayang
dewasa ini, untuk menghadapi tantangan global dan mampu menciptakan pertunjukan
yang masih mengandung nilai-nilai serta ajaran moral, maka munculah gagasan
serta ide-ide melakukan perubahan pertunjukan wayang kreatif, inovatif yang
tetap memperhitungkan dampak, akibat dan masa depannya, yaitu:
Kreatif,
menurut salah satu dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
yaitu Blacius Subono “kreatif artinya sesuatu yang baru atau belum pernah ada, dan hal tersebut
berhasil serta diakui oleh masyarakat”, sedangkan Bambang Murtiyoso yang juga
merupakan dosen ISI Surakarta mengartikan bahwa kreatif adalah “sesuatu hal
yang baru tapi tidak sekedar baru”. Artinya, pertunjukan wayang yang didalamnya
memiliki garap pakeliran meliputi sabet (semua gerak wayang meliputi: tanceban, entas-entasan, ulap-ulap, cancut),
catur (bahasa dalang yang digunakan
dalam pertunjukan wayang meliputi: janturan,
pocapan dan ginem) dan iringan atau karawitan pedalangan meliputi sulukan,
dodogan, keprakan dan instrument
gamelan digarap atau diolah semenarik mungkin dengan hal-hal yang baru
sekiranya mempunyai daya tarik tinggi dan tetap bernilai.
Bentuk
kreatif dalam hal sabet, dalang mampu
memainkan wayang dengan sangat atraktif, artinya
garap sabet mengaplikasi dari
gerak-gerak akrobatik, karate, silat, gerak yang relevan dalam kehidupan nyata
dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika perang antara tokoh wayang Anoman dengan
tokoh wayang Aswatama, gerakan Anoman saat menghajar Aswatama dapat
mengaplikasi dari gerak kera sungguhan, misalkan Anoman berpindah-pindah tempat
dari satu pohon ke pohon yang lain, sehingga penonton akan lebih tertarik untuk
menikmati pertunjukan tersebut.
Kreatif
dalam hal catur, artinya bahasa yang
digunakan dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk
dimengerti masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam
pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam. Misalnya,
dalam konteks pembicaraan antara tokoh wayang Duryudana dengan Sengkuni, dalam
adegan jejer Astina berdasarkan pakem (aturan
yang sudah disepakati dan sepaham secara
konvensional), di lingkungan Keraton Surakarta atau disebut dengan bahasa kedhaton, Duryudana memanggil Sengkuni
menggunakan kata “pakenira” dan
Duryudana menyebut dirinya menggunakan kata “manira”,
jika dalam pertunjukan wayang dewasa ini masih menggunakan bahasa kedhaton diatas, kemungkinan besar
masyarakat awam tidak dapat mengerti dan memahami makna dari kata tersebut.
Dengan demikian, agar bahasa dalang lebih mudah dimengerti, misalnya kata pakenira diganti dengan kata jenengsira atau jengandika, dan kata manira diganti
dengan kata jeneng ingsun atau ingsun. Sehingga, kata tersebut akan
lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan bahasa kedhaton.
Bentuk
kreativitas dalam hal iringan atau karawitan pedalangan yang meliputi sulukan, dan gendhing. Secara pakem jejer
Astina menggunakan iringan gendhing
Kabor, namun untuk menggambarkan keadaan Negara Astina dalam keadaan sedih
tentu gendhing Kabor kurang sesuai
dengan suasana, karena gendhing Kabor memiliki
suasana Agung, maka untuk memberikan kesan sedih gendhing yang digunakan adalah gendhing
Tlutur yang susunan gendhingnya membentuk
suasana sedih, sehingga dalam rangka membangun suasana sedih akan lebih
berkesan dalam hati sanubari penonton. Selain itu, dalam pertunjukan wayang
tidak harus menambahkan unsur-unsur seperti: penyanyi dangdut, musik dangdut,
musik pop, pelawak dan sebagainya, selama hal itu merusak cara pandang
masyarakat terhadap pertunjukann wayang, karena hal tersebut memiliki wilayah
yang berbeda. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya kreativitasnya
dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana yang diinginkan,
upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati masyarakat
pendukung pertunjukan wayang kulit.
Durasi
dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu untuk
dipertimbangkan lagi, jika pertunjukan wayang disajikan selama semalam suntuk
sekitar tujuh jam, yaitu antara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 04:00,
untuk konsumen masyarakat dewasa ini tentu akan merasa jenuh, sehingga
meninggalkan pertunjukan wayang padahal pertunjukan tersebut belum selesai, hal
ini berakibat akhirnya penonton tidak mengetahui jalannya cerita secara
keseluruhan. Dengan demikian, perlu disiasati yaitu pertunjukan wayang hanya
disajikan selama empat atau lima jam saja, anatara pkl. 21:00 sampai dengan
pkl. 01:00, untuk mengurangi durasi pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan
mengurangi adegan-adegan yang tidak penting dan kurang mendukung jalannya
cerita, misalnya adegan babak unjal,
gapuran, kedhatonan serta mengurangi eksistensi sisi hiburannya, sebagai
contoh adegan limbukan dan goro-goro tidak perlu menghabiskan waktu
sampai berjam-jam, sehingga pertunjukan tidak terkesan untuk senang-senang
saja. Dengan demikian, durasi yang lebih efisien
dan efektif tersebut maka
penonton akan lebih merasa betah untuk menikmati sajian tersebut, misalkan di
Taman Budaya Jawa Tengah menggelar pertunjukan wayang rutinan setiap malam
jumat kliwon sajian pakelirannya hanya
disajikan sekitar empat sampai lima jam, pada kenyataannya penonton masih
begitu banyak hingga pertunjukann wayang selesai.
Inovatif, artinya
melakukan inovasi atau pembaharuan pada karya tersebut dalam hal ini adalah
pertunjukan wayang kulit, hal ini sangat perlu dilakukan sebagai salah satu
cara menghadapi tantangan global. Kenyatannya,
masyarakat dewasa ini lebih cenderung menyukai hal-hal baru dan serba
instan atau siap saji. Hal ini, menunjukan bahwa masyarakat dewasa ini tidak
mau untuk berfikir hal-hal yang terlalu rumit. Sebagai contoh, masyarakat
dewasa ini lebih menyukai lagu-lagu pop daripada lagu-lagu tradisi atau lokal
seperti gendhing-gendhing jawa, karena
lagu pop lebih mudah untuk dimengerti karena tingkat kesulitannya lebih rendah
jiika dibandingkan dengan gendhinng-ggendhing
jawa, sebab untuk memahami makna
yang terkandung perlu melalui konntemplasi terlebih dahulu.
Melihat
kasus tersebut, agar pertunjukan wayang mampu bersaing dengan
kebudayaan-kebudayaan barat yang dewasa ini berkembang pesat dan progresif di
tengah-tengah masyarakat, maka kreativitas dalang sangat dituntut untuk
keeksisannya. Kenyatannya, hingga saat ini telah lahir berbagai macam bentuk
pertunjukan wayang inovatif yang sekarang mulai dikenalkan pada masyarakat.
Bentuk pertunjukan wayang yang muncul, antara lain:
1. Pakeliran Padat, dilihat dari
sisi bentuk mempunyai perbedaan dengan pakeliran
semalam. Dalam pertunjukannya, pakeliran
padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang diungkapkan
melalui lakon(cerita) sehingga lama
penyajiannya tidak dapat ditentukan. Selain itu, mengenai susunan pathet apabila dalam pertunjukan semalam
berawal dari pathet nem, pathet sanga terakhir
patthet manyura, sedangkan pakeliran padat bebas untuk menentukan pathet disesuaikan dengan kebutuhan
adegan. Pencapaian maksud rasa adegan dan karakter tokoh wayang adalah tujuan
utama guna mencapai suatu rasa hayatan dari sebuah pertunjukan. Pemakaian gendhing-gendhing bebas untuk
menggunakan, misalkan memakai sulukan
gaya Yogya dan sebagainya.
2. Pakeliran Sandosa,
lahir di ASKI Surakarta yang sekarang ISI Surakarta. Sebuah karya baru,
pementasan menggunakan bahasa Indonesia, layar yang digunakan sangat lebar
serta bersifat elastis artinya dapat digerakkan kemana saja sesuai dengan
kebutuhan. Tidak hanya dilakukan oleh satu dalang melainkann oleh banyak
dalang. Bentuk susunan sajian dalam satu lakon
bebas tidak sama dengan pola pakem
pakeliran tradisi. Pada umunya, pelaku pertunjukan wayang terdiri atas
dalang, pengrawit, dan sinden. Hal demikian, berbeda dengan pelaku pertunjukkan
wayang sandosa yang terdiri atas sutradara, penyusun naskah, penata antawacana, sulih suara, narator, penata
sabet, peraga wayang, penata iringan,
pengrawit, pesinden, penata lampu dan teknisi sound system. Para pelaku
pertunjukan memiliki tugas dan kedudukan yang berlainan dalam suatu rangkaian
pertunjukan pakeliran sandosa.
Pembentuk pakeliran sandosa terdiri
dari unsur tradisional yang dipadukan dengan unsur baru. Beberapa unsur seperti
wayang, gamelann, kelir, dalang, sinden, pengrawit dalam pertunjukan wayang
tradisional masih digunakan, namun tidak dihadirkan dalam bentuk pakeliran sandosa. Sedangkan unsur baru
yang digunakan adalah lighting, bahasa
pengantar cerita dan teknik pengekspresiannya (Sunardi, 2004:22-23).
3. Wayang
Suket, dengan penciptanya yaitu Slamet Gundono yang merupakan alumni dari ISI
Surakarta. wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang pada umumnya, baik
dari bentuknya maupun sajiannya. Wayang suket wayang yang digunakan terbuat
dari suket dalam bahasa Indonesia
berarti rumput. Cerita yang digunakan dalam wayang suket berorientasi pada
kejadian masa kini atau up to date.
4. Wayang
Mlaku, merupakan komunitas baru yang didirikan oleh Catur Nugroho mahasiswa
pedalangan ISI Surakarta. pertunjukannya mengapliikasikan konsep wayang sandosa
dengan iringan kolaborasi antara musik pentatonis dengan musik diatonis.
Penggarapan cerita berdasarkan situasi yang relevan dengan keadaan jaman,
penyusunan cerita juga bersifat pendidikan (education).
Bentuk
pertunjukan wayang kreatif dan inovatif tentu masih banyak lagi seperti wayang
multimedia, wayang kampung sebelah dan tentu akan masih banyak lagi muncul
bentuk-bentuk baru. Mengingat, setiap dalang memiliki daya kreativitas yang
berbeda-beda dengan tingkatan yang bervariasi
pula. Perkembangan jaman yang begitu cepatnya, secara otomatis pertunjukan
wayang juga akan selalu responsif dan adaptif. Akan tetapi, satu hal yang perlu
diperhatikan para seniman khususnya dalang, dalam berkarya dan berkreativitas
jangan sampai pertunjukan yang dihasilkan lepas dari ajaran-ajaran, nilai-nilai
dan makna yang seharusnya termuat dalam pertunjukan wayang. Sehingga,
pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan semata, melainkan suatu karya
seni yang benar-benar memiliki daya tarik dan kualitas yang tinggi.
Seniman
khususnya dalang untuk melakukan beberapa langkah cara tersebut perlu memiliki
bekal yang cukup baik pengalaman, kemampuan, ketrampilan, keuletan, ketelitian
maupun daya kreativitas yang tinggi serta adanya rasa keberanian untuk maju.
Sehingga, pertunjukan wayang yang dihasilkan tidak hanya bersifatt hiburan
semata, melainkan tetap berpijak pada makna cerita pertunjukan wayang, dengan
demikian mampu berkesan dalam hati penghayat, dan mampu mempengaruhi membaiknya
krisis moral yang saat ini melanda bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment