Sunday, September 28, 2014

Wayang Kulit Harus Kreatif & Inovatif


Berdasarkan pertunjukan wayang dewasa ini, untuk menghadapi tantangan global dan mampu menciptakan pertunjukan yang masih mengandung nilai-nilai serta ajaran moral, maka munculah gagasan serta ide-ide melakukan perubahan pertunjukan wayang kreatif, inovatif yang tetap memperhitungkan dampak, akibat dan masa depannya, yaitu:

Kreatif, menurut salah satu dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yaitu Blacius Subono “kreatif artinya sesuatu yang baru  atau belum pernah ada, dan hal tersebut berhasil serta diakui oleh masyarakat”, sedangkan Bambang Murtiyoso yang juga merupakan dosen ISI Surakarta mengartikan bahwa kreatif adalah “sesuatu hal yang baru tapi tidak sekedar baru”. Artinya, pertunjukan wayang yang didalamnya memiliki garap pakeliran meliputi sabet (semua gerak wayang meliputi: tanceban, entas-entasan, ulap-ulap, cancut), catur (bahasa dalang yang digunakan dalam pertunjukan wayang meliputi: janturan, pocapan dan ginem) dan iringan atau karawitan pedalangan meliputi sulukan, dodogan, keprakan dan instrument gamelan digarap atau diolah semenarik mungkin dengan hal-hal yang baru sekiranya mempunyai daya tarik tinggi dan tetap bernilai.
Bentuk kreatif dalam hal sabet, dalang mampu memainkan wayang dengan sangat atraktif, artinya garap sabet mengaplikasi dari gerak-gerak akrobatik, karate, silat, gerak yang relevan dalam kehidupan nyata dan lain-lain. Sebagai contoh, ketika perang antara tokoh wayang Anoman dengan tokoh wayang Aswatama, gerakan Anoman saat menghajar Aswatama dapat mengaplikasi dari gerak kera sungguhan, misalkan Anoman berpindah-pindah tempat dari satu pohon ke pohon yang lain, sehingga penonton akan lebih tertarik untuk menikmati pertunjukan tersebut.
Kreatif dalam hal catur, artinya bahasa yang digunakan dalam pertunjukan wayang menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dimengerti masyarakat secara luas dan lebih komunikatif, mengingat bahasa dalam pedalangan dewasa ini sulit untuk ditangkap oleh masyarakat awam. Misalnya, dalam konteks pembicaraan antara tokoh wayang Duryudana dengan Sengkuni, dalam adegan jejer Astina berdasarkan pakem (aturan yang sudah disepakati dan sepaham  secara konvensional), di lingkungan Keraton Surakarta atau disebut dengan bahasa kedhaton, Duryudana memanggil Sengkuni menggunakan kata “pakenira” dan Duryudana menyebut dirinya menggunakan kata “manira”, jika dalam pertunjukan wayang dewasa ini masih menggunakan bahasa kedhaton diatas, kemungkinan besar masyarakat awam tidak dapat mengerti dan memahami makna dari kata tersebut. Dengan demikian, agar bahasa dalang lebih mudah dimengerti, misalnya kata pakenira diganti dengan kata jenengsira atau jengandika, dan kata manira diganti dengan kata jeneng ingsun atau ingsun. Sehingga, kata tersebut akan lebih mudah dipahami jika dibandingkan dengan bahasa kedhaton.
Bentuk kreativitas dalam hal iringan atau karawitan pedalangan yang meliputi sulukan, dan gendhing. Secara pakem jejer Astina menggunakan iringan gendhing Kabor, namun untuk menggambarkan keadaan Negara Astina dalam keadaan sedih tentu gendhing Kabor kurang sesuai dengan suasana, karena gendhing Kabor memiliki suasana Agung, maka untuk memberikan kesan sedih gendhing yang digunakan adalah gendhing Tlutur yang susunan gendhingnya membentuk suasana sedih, sehingga dalam rangka membangun suasana sedih akan lebih berkesan dalam hati sanubari penonton. Selain itu, dalam pertunjukan wayang tidak harus menambahkan unsur-unsur seperti: penyanyi dangdut, musik dangdut, musik pop, pelawak dan sebagainya, selama hal itu merusak cara pandang masyarakat terhadap pertunjukann wayang, karena hal tersebut memiliki wilayah yang berbeda. Sebenarnya seorang dalang cukup mengandalkan daya kreativitasnya dalam mengolah dan menyusun karyanya sesuai dengan suasana yang diinginkan, upaya tersebut sekiranya telah mampu diterima dan diminati masyarakat pendukung  pertunjukan wayang kulit.
Durasi dalam pertunjukan wayang, bagi seorang dalang kreatif tentu perlu untuk dipertimbangkan lagi, jika pertunjukan wayang disajikan selama semalam suntuk  sekitar tujuh jam, yaitu antara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 04:00, untuk konsumen masyarakat dewasa ini tentu akan merasa jenuh, sehingga meninggalkan pertunjukan wayang padahal pertunjukan tersebut belum selesai, hal ini berakibat akhirnya penonton tidak mengetahui jalannya cerita secara keseluruhan. Dengan demikian, perlu disiasati yaitu pertunjukan wayang hanya disajikan selama empat atau lima jam saja, anatara pkl. 21:00 sampai dengan pkl. 01:00, untuk mengurangi durasi pertunjukan wayang dapat dilakukan dengan mengurangi adegan-adegan yang tidak penting dan kurang mendukung jalannya cerita, misalnya adegan babak unjal, gapuran, kedhatonan serta mengurangi eksistensi sisi hiburannya, sebagai contoh adegan limbukan dan goro-goro tidak perlu menghabiskan waktu sampai berjam-jam, sehingga pertunjukan tidak terkesan untuk senang-senang saja. Dengan demikian, durasi yang lebih efisien dan efektif tersebut maka penonton akan lebih merasa betah untuk menikmati sajian tersebut, misalkan di Taman Budaya Jawa Tengah menggelar pertunjukan wayang rutinan setiap malam jumat kliwon sajian pakelirannya hanya disajikan sekitar empat sampai lima jam, pada kenyataannya penonton masih begitu banyak hingga pertunjukann wayang selesai.
 
Inovatif, artinya melakukan inovasi atau pembaharuan pada karya tersebut dalam hal ini adalah pertunjukan wayang kulit, hal ini sangat perlu dilakukan sebagai salah satu cara menghadapi tantangan global. Kenyatannya,  masyarakat dewasa ini lebih cenderung menyukai hal-hal baru dan serba instan atau siap saji. Hal ini, menunjukan bahwa masyarakat dewasa ini tidak mau untuk berfikir hal-hal yang terlalu rumit. Sebagai contoh, masyarakat dewasa ini lebih menyukai lagu-lagu pop daripada lagu-lagu tradisi atau lokal seperti gendhing-gendhing jawa, karena lagu pop lebih mudah untuk dimengerti karena tingkat kesulitannya lebih rendah jiika dibandingkan dengan gendhinng-ggendhing jawa, sebab untuk memahami makna yang terkandung perlu melalui konntemplasi terlebih dahulu.
Melihat kasus tersebut, agar pertunjukan wayang mampu bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan barat yang dewasa ini berkembang pesat dan progresif di tengah-tengah masyarakat, maka kreativitas dalang sangat dituntut untuk keeksisannya. Kenyatannya, hingga saat ini telah lahir berbagai macam bentuk pertunjukan wayang inovatif yang sekarang mulai dikenalkan pada masyarakat. Bentuk pertunjukan wayang yang muncul, antara lain:
1.      Pakeliran  Padat, dilihat dari sisi bentuk mempunyai perbedaan dengan pakeliran semalam. Dalam pertunjukannya, pakeliran padat tidak berorientasi pada waktu, tetapi pada persoalan yang diungkapkan melalui lakon(cerita) sehingga lama penyajiannya tidak dapat ditentukan. Selain itu, mengenai susunan pathet apabila dalam pertunjukan semalam berawal dari pathet nem, pathet sanga terakhir patthet manyura, sedangkan pakeliran padat bebas untuk menentukan pathet disesuaikan dengan kebutuhan adegan. Pencapaian maksud rasa adegan dan karakter tokoh wayang adalah tujuan utama guna mencapai suatu rasa hayatan dari sebuah pertunjukan. Pemakaian gendhing-gendhing bebas untuk menggunakan, misalkan memakai sulukan gaya Yogya dan sebagainya.
2.      Pakeliran Sandosa, lahir di ASKI Surakarta yang sekarang ISI Surakarta. Sebuah karya baru, pementasan menggunakan bahasa Indonesia, layar yang digunakan sangat lebar serta bersifat elastis artinya dapat digerakkan kemana saja sesuai dengan kebutuhan. Tidak hanya dilakukan oleh satu dalang melainkann oleh banyak dalang. Bentuk susunan sajian dalam satu lakon bebas tidak sama dengan pola pakem pakeliran tradisi. Pada umunya, pelaku pertunjukan wayang terdiri atas dalang, pengrawit, dan sinden. Hal demikian, berbeda dengan pelaku pertunjukkan wayang sandosa yang terdiri atas sutradara, penyusun naskah, penata antawacana, sulih suara, narator, penata sabet, peraga wayang, penata iringan, pengrawit, pesinden, penata lampu dan teknisi sound system. Para pelaku pertunjukan memiliki tugas dan kedudukan yang berlainan dalam suatu rangkaian pertunjukan pakeliran sandosa. Pembentuk pakeliran sandosa terdiri dari unsur tradisional yang dipadukan dengan unsur baru. Beberapa unsur seperti wayang, gamelann, kelir, dalang, sinden, pengrawit dalam pertunjukan wayang tradisional masih digunakan, namun tidak dihadirkan dalam bentuk pakeliran sandosa. Sedangkan unsur baru yang digunakan adalah lighting, bahasa pengantar cerita dan teknik pengekspresiannya (Sunardi, 2004:22-23).
3.      Wayang Suket, dengan penciptanya yaitu Slamet Gundono yang merupakan alumni dari ISI Surakarta. wayang suket berbeda dengan pertunjukan wayang pada umumnya, baik dari bentuknya maupun sajiannya. Wayang suket wayang yang digunakan terbuat dari suket dalam bahasa Indonesia berarti rumput. Cerita yang digunakan dalam wayang suket berorientasi pada kejadian masa kini atau up to date.
4.      Wayang Mlaku, merupakan komunitas baru yang didirikan oleh Catur Nugroho mahasiswa pedalangan ISI Surakarta. pertunjukannya mengapliikasikan konsep wayang sandosa dengan iringan kolaborasi antara musik pentatonis dengan musik diatonis. Penggarapan cerita berdasarkan situasi yang relevan dengan keadaan jaman, penyusunan cerita juga bersifat pendidikan (education).
Bentuk pertunjukan wayang kreatif dan inovatif tentu masih banyak lagi seperti wayang multimedia, wayang kampung sebelah dan tentu akan masih banyak lagi muncul bentuk-bentuk baru. Mengingat, setiap dalang memiliki daya kreativitas yang berbeda-beda  dengan tingkatan yang bervariasi pula. Perkembangan jaman yang begitu cepatnya, secara otomatis pertunjukan wayang juga akan selalu responsif dan adaptif. Akan tetapi, satu hal yang perlu diperhatikan para seniman khususnya dalang, dalam berkarya dan berkreativitas jangan sampai pertunjukan yang dihasilkan lepas dari ajaran-ajaran, nilai-nilai dan makna yang seharusnya termuat dalam pertunjukan wayang. Sehingga, pertunjukan wayang tidak hanya bersifat hiburan semata, melainkan suatu karya seni yang benar-benar memiliki daya tarik dan kualitas yang tinggi.
Seniman khususnya dalang untuk melakukan beberapa langkah cara tersebut perlu memiliki bekal yang cukup baik pengalaman, kemampuan, ketrampilan, keuletan, ketelitian maupun daya kreativitas yang tinggi serta adanya rasa keberanian untuk maju. Sehingga, pertunjukan wayang yang dihasilkan tidak hanya bersifatt hiburan semata, melainkan tetap berpijak pada makna cerita pertunjukan wayang, dengan demikian mampu berkesan dalam hati penghayat, dan mampu mempengaruhi membaiknya krisis moral yang saat ini melanda bangsa Indonesia.

No comments:

Post a Comment