Tribasa Dalang Joss Gandos
Thursday, November 26, 2015
Monday, September 29, 2014
Mengemas Pertunjukan Tradisional Berdaya Jual
Budaya industri
seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan
negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau
menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar.
Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial
mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang
bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini,
meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan
dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan. Mau kemana seni
industri dan seni pertunjukan di Indonesia ini? Jawaban dari Butet
Kartaredjasa, pemakalah berjuluk “Seni Pertunjukan dan Kultur
Industrial?... boleh jadi cocok dengan
kondisi seni pertunjukan dan kultur industrial saat ini.
Wayang kulit adalah
contoh yang paling bagus. Hingga hari ini pergelaran wayang kulit tidak
pernah mati dan para dalang wayang kulit masih terus bertahan di tengah
gempuran industri hiburan modern. Salah satu menyebab bertahannya
pertunjukan wayang kulit adalah pola kehidupan tradisional yang kuat
meski para penonton sudah memasuki cara hidup modern. Upaya modifikasi
atau pemoderan gaya pertunjukan wayang kulit (dengan instrumen musik dan
bintang tamu selebritis misalnya) hanya berguna sebagai aksen. Istilah
Jawanya hanya sebagai penglaris. Selebihnya wayang kulit tetap
bertahan dengan pola tradisional, mulai dari pakem cerita hingga
bangunan aksesori yang dibutuhkan dalam musik atau plot yang sudah
menjadi baku.
Wayang kulit di Jawa
(Tengah) masih menjadi bagian dari upacara sosial yang penting. Artinya,
wayang kulit tidak hanya dilihat sebagai produk, melainkan bagian dari
ekspresi dan artikulasi sosial-budaya para penonton. Dia memiliki akar
yang kuat dalam kesadaran para penonton. Wayang kulit juga masih menjadi
bagian penting dari kebudayaan lisan masyarakat Jawa. Dalam kasus
wayang kulit, antara proses dan produk sama sama penting. Proses dalam
arti bahwa wayang kulit adalah seni pertunjukan lisan yang hidup dan
tumbuh dalam masyarakat dalam budaya lisan yang kuat. Sementara
produknya (pertunjukan wayang kulit) itu merupakan perwujudan dari
budaya lisan Jawa yang sampai sekarang belum tergantikan oleh seni
pertunjukan modern yang ada.
Seni pertunjukan
modern (drama, film, sinetron) yang diproduksi oleh industri hiburan di
Indonesia selama ini selalu menggunakan bahasa Indonesia, sementara
masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang
menggunakan bahasa daerah masing-masing. Artinya, seni pertunjukan
modern belum menjadi bagian (proses) berbahasa masyarakat di
daerah-daerah. Maka, seni pertunjukan semacam ini hanya dapat diambil
sebagai produk, dan bukan sebagai proses.
Dalam budaya
industrial yang mementingkan produk massal, seni pertunjukan hams
dilihat sebagai produk. Dalam kebudayaan tradisional seni pertunjukan
lebih dilihat sebagai proses. Maka, jika berbicara bagaimana
membangkitkan seni pertunjukan sebagai bagian dari industri, kita harus
mengambil sebagai produk. Maka jika orang menciptakan seni pertunjukan
dalam budaya industrial, orientasinya juga produk.
Pertanyaannya adalah,
bagaimana memproduk seni pertunjukan melulu sebagai produk jika tidak
didukung oleh proses yang kuat? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
seni pertunjukan sebagai seni (kreatif) akan menghadapi bahaya jika
harus memenuhi arus percepatan produksi massal dalam kecepatan tinggi.
Banyak seniman seni pertunjukan (berbasis seni tradisi atau seni modern)
yang akhirnya menjadi mekanis akibat memenuhi tuntutan percepatan
produksi. Para seniman menjadi kehabisan energi dan ide sehingga hanya
mengulang-ulang produk.
Asasnya kemudian
bukan pada kreativitas orisinal, melainkan pada reproduksi. Suatu produk
akan direpro terus-menerus, kalau perlu dibuat ulang dengan versi baru,
begitu seterusnya, agar memenuhi target (kejar tayang). Jika kemudian
suatu produk dirasa sudah habis daya jual, maka dibuang saja lalu
menciptakan bentuk lain yang belum tentu suatu inovasi baru. Masyarakat
industrial pada dasarnya memang tidak peduli dengan orisinalitas.
Sesuatu yang hari ini ngetrend dan dianggap baru, besok sudah
usang dan dilupakan. Maka besoknya orang memerlukan sesuatu yang baru,
meski hal itu hanya pengulangan dari yang lama. Kebaruan bukan pada isi,
melainkan pada kemasan.
Itulah asas
reproduksi dalam budaya industrial. Yang penting adalah tampilan atau
kemasan, dan bukan substansi atau saripati atau isi di balik kemasan
itu. Sebenarnya watak manusia industrial dalam hal ini tidak berbeda
jauh dengan watak masyarakat tradisional (budaya lisan) yang cepat
melupakan sesuatu dan besok mengunyah sesuatu yang lain. Besoknya lagi
sudah bosan dan lupa dengan sesuatu itu, lalu melupakannya lagi. Begitu
seterusnya.
Jadi, seni
pertunjukan yang cocok dengan budaya industrial adalah seni pertunjukan
yang mamu menyesuaikan diri dengan kebutuhan, yaitu seni pertunjukan
yang mampu mengubah-ubah format dengan cepat sesuai tuntutan selera dan
percepatan produksi secara massal. Untuk memproduksi seni pertunjukan
semacam ini dibutuhkan proses yang berbeda dengan seni pertunjukan
tradisional seperti yang dicontohkan dengan wayang kulit itu. Dari dulu,
wayang kulit itu ya begitu-begitu saja. Tapi justru karena masyarakat
penonton hidup di alam budaya lisan, maka tetap hidup.
Tapi dalam budaya
industrial yang dibutuhkan adalah kecepatan. Dan itu hanya dapat
dipenuhi dengan mereproduksi kemasan. Memang kadang dibutuhkan inovasi
atau penemuan besar secara estetik-kreatif, tapi itu tidak selalu dapat
dipenuhi. Penemuan besar tidak dapat dibuat tiap hari. Maka, jika ada
penemuan besar, harganya sangat mahal. Kreativitas menjadi sangat
berharga. Dan setelah kreativitas diperoleh, maka harus terus
direproduksi ulang dengan tampilan atau kemasan yang berbeda-beda,
disesuaikan dengan perkembangan selera konsumen.
Itulah perbedaan
pertama antara seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern.
Seringkali produsen seni pertunjukan yang berbasis seni murni yang
mengandalkan kreativitas murni akan terengah-engah mengejar tuntutan
produksi dalam industri hiburan modern. Kaum seniman ini tidak terbiasa
dengan irama industri hiburan yang menuntut kecepatan. Lebih dari itu,
cara bekerja mereka memang memiliki basis yang berbeda: kaum seniman
murni berorientasi pada penemuan artistik (yang tidak dapat dibuat
setiap hari) sementara kaum industrialis berorientasi pada reproduksi
format atau kemasan.
Subscribe to:
Posts (Atom)